"Dengan demikian, kata dia, seni “cross gender” atau orang yang berpakaian menyerupai lawan jenisnya ini merupakan kesenian yang tinggi."
Ourvoice.or.id. Siang itu suasana halaman Padepokan Payung Agung di
Desa Banjarsari, Kecamatan Nusawungu, Cilacap, tampak dipadati ratusan
warga. Kedatangan mereka ke tempat itu untuk menyaksikan pergelaran
Lengger Banyumasan yang sengaja digelar oleh pengelola Padepokan Payung
Agung guna menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Suro 1946. Bagi warga setempat, pergelaran Lengger Banyumasan sebenarnya bukan
sesuatu yang asing karena kesenian tradisional ini merupakan budaya
populis yang tumbuh dan berkembang di Banyumas sejak ratusan tahun
silam.
Akan tetapi dalam pergelaran Lengger Banyumasan kali ini, ada sesuatu
yang menarik bagi warga setempat lantaran beberapa penarinya merupakan
kaum pria yang berdandan seperti halnya perempuan, sehingga disebut
dengan Lengger “Lanang” (pria.) dan salah satunya telah berusia lanjut
yang dikenal dengan panggilan Mbah Dariah.
Dariah (Photo : clc purbalingga)
Pria berusia 84 tahun ini konon merupakan Lengger “Lanang” tertua di
eks Keresidenan Banyumas yang bermukim di Desa Somakaton, Kecamatan
Somagede, Kabupaten Banyumas. Meski telah lanjut usia, penampilan Dariah
tak kalah dengan penari Lengger “Lanang” yang masih berusia muda,
bahkan tidak kalah luwes dengan perempuan penari lainnya.
Secara sepintas, orang tidak akan menyangka jika Dariah yang pernah
mendapat anugerah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kategori
Maestro Seniman Tradisional pada 2011 ini merupakan seorang pria karena
gerakan tarinya yang lemah gemulai maupun dandanannya mirip perempuan.
Selain itu, Dariah juga berkolaborasi dengan seniman serba bisa dari Yogyakarta Didik Nini Thowok.
Saat ditemui di sela-sela pergelaran Lengger Banyumasan, budayawan
Ahmad Tohari mengatakan, Lengger “Lanang” sebenarnya telah ada di
Banyumas sejak dulu dan sudah menjadi hal biasa.
“Seperti Mbah Dariah itu salah satunya. Sekarang di Rawalo ada
Lengger `Lanang` generasi baru, saya sudah pernah melihat pentasnya,
benar-benar cantik,” katanya.
Menurut dia, masalah “transsexsual” di Banyumas merupakan hal biasa.
Akan tetapi, kata dia, kelangsungan Lengger “Lanang” sempat tenggelam
setelah beberapa tokohnya seperti Mbah Dariah ini putus regenerasinya.
“Di kampung saya (Jatilawang, Banyumas) juga pernah ada Lengger
`Lanang` karena itu hal biasa. Ada lengger dan ada ronggeng. Sebetulnya
lengger itu untuk yang laki-laki, sedangkan ronggeng untuk perempuan,”
kata penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.
Lebih lanjut, Kang Tohari (panggilan akrab Ahmad Tohari, red.)
mengatakan, lengger atau ronggeng ini berasal dari tradisi pemujaan
terhadap Dewi Kesuburan dan telah berlangsung lama.
Dulu, kata dia, pementasan lengger maupun ronggeng tidak pernah memasang tarif karena merupakan perangkat kebudayaan desa.
“Setiap desa punya ronggeng. Itu terekam di buku `History of Java`,” katanya.
Ia mengatakan, budaya Banyumas berorientasi kepada kesenian rakyat
dengan gerak yang sederhana, diulang-ulang, tidak canggih, dengan tujuan
agar tetap dimiliki dan dikuasai oleh semua orang.
“Tidak elitis seperti Serimpi dan Gambyong yang ditunjukkan di tempat
khusus. Kalau lengger atau ronggeng di mana pun jadi,” katanya.
Dia mengaku, saat Kongres Lengger Nasional beberapa waktu lalu sempat
meminta agar lengger tidak dituntut untuk menjadi adiluhung (kesenian
yang elit, red.) karena bisa jadi elitis.
“Kalau jadi elitis, nanti bisa hilang. Biar dia (lengger dan
ronggeng) tetap jadi populis, sederhana, mudah dipelajari sehingga semua
orang bisa jadi lengger, milik rakyat seperti ebek (kuda lumping),
jangan dibikin canggih-canggih, nanti malah orang-orang tertentu yang
bisa,” katanya.
Menurut dia, budaya Banyumas tidak bisa diukur dengan takaran atau nilai-nilai keraton karena ukurannya masyarakat.
Secara terpisah, seniman Didik Nini Thowok mengimbau para Lengger
“Lanang” generasi baru untuk mempelajari secara serius jika mereka ingin
meneruskan tradisi Lengger “Lanang”.
“Karena seni tradisi `cross gender` seperti yang saya lakukan, itu
sebenarnya seni yang serius. Saya mendapat kesempatan belajar di Jepang,
India, dan China tentang tradisi `cross gender` (laki-laki memerankan
wanita) itu semuanya serius,” katanya.
Dengan demikian, kata dia, seni “cross gender” atau orang yang
berpakaian menyerupai lawan jenisnya ini merupakan kesenian yang tinggi.
Bahkan di Jepang, lanjutnya, masyarakat sangat respek terhadap Onagata karena merupakan seni yang serius, bukan guyonan.
“Semua tarian yang `basic`-nya tradisi itu punya akar yang kuat. Itu yang harus dipelajari,” katanya.
Tradisi kuno
Menurut dia, seni tradisi cross gender (orang yang berpakaian
menyerupai lawan jenisnya) sebenarnya sudah lama ada di Indonesia namun
sempat terputus, sehingga banyak masyarakat yang tidak tahu kalau seni
tersebut merupakan tradisi kuno. Dalam hal ini, dia mencontohkan pergelaran wayang orang di Keraton Yogyakarta ada laki-laki yang memerankan peran wanita.
Menurut dia, hal ini disebabkan Keraton Yogyakarta memeluk agama Islam sehingga peran perempuan dimainkan oleh laki-laki.
“Dalam wayang orang kadang ada adegan pelukan, padahal dalam agama
Islam, yang bukan muhrimnya dilarang berpelukan, sehingga peran
perempuan dimainkan oleh laki-laki,” kata dia menjelaskan.
Bahkan saat itu, kata dia, jika seorang perempuan menari di depan umum, citranya akan menjadi sangat jelek.
Oleh karena itu, Didik sering kali memberikan pemahaman tentang
tradisi “cross gender” ini kepada mahasiswa di sejumlah perguruan
tinggi.
“Ini (tradisi `cross gender`) merupakan sejarah, dan ini tertulis, tidak asal-asalan,” katanya.
Saat mendapat undangan di Amerika beberapa waktu lalu, dia mengaku
sempat mengutip tembang dalam Serat Centhini khususnya tentang kesenian
lengger.
“Lengger saat itu (dalam Centhini) adalah laki-laki yang memerankan wanita,” katanya.
Terkait keberadaan Lengger “Lanang” di Banyumas, Didik mengaku jika
saat ini sedang mendokumentasikannya dalam bentuk video dengan
mendatangi rumah Lengger “Lanang” Dariah di Desa Somakaton, Kecamatan
Somagede, Banyumas.
“Tadi pagi (Kamis, red.) tim saya men-`shooting` Pendopo Sipanji
Banyumas, Sungai Serayu, kemudian ke Lengger Dariah. Sebenarnya saya
kelewatan satu, punden yang digunakan untuk upacara lengger,” katanya.
Menurut dia, ide untuk mendokumentasikan Lengger Dariah ini berawal
dari perjalanannya di Amerika Serikat pada 20 September hingga 4 Oktober
2012.
“Saat itu, saya menari di beberapa tempat. Terutama yang buat saya
sangat bergengsi, saya diundang oleh Yale University di New Haven, yang
merupakan universitas kedua setelah Havard,” kata dia yang memiliki
garis keturunan warga Sidareja, Cilacap.
Di perguruan tinggi ternama tersebut, dia diminta untuk menyajikan
pertunjukan dan mengisi sebuah diskusi tentang budaya Asia khususnya
Indonesia. Menurut dia, pertunjukan tersebut selama satu jam dan telah disiapkan
lebih dulu dengan membuat rekaman video yang menggambarkan keindahan
Yogyakarta.
“Ini karena kebanyakan orang asing `nggak` tahu Yogyakarta atau
Indonesia, tetapi lebih kenal Bali. Saya pakai model film, seperti film
pariwisata yang menunjukkan peta Indonesia, posisi Yogyakarta, ada apa
di sana, Gunung Merapi, dan sebagainya sampai keraton, ada sultan, tari
Bedoyo, tari Langendrian, di situ ada tari Golek,” katanya.
Ia mengatakan, tari Golek pada zaman Sultan Hamengkubuwono VII penarinya adalah laki-laki.
Selanjutnya, kata dia, ada tembang petikan dari babad Mangkunegaran
yang menceritakan bahwa Sultan Hamengkubuwono VII mengirim seorang
pangeran yang menarikan tari Golek Lambangsari sebagai hadiah ulang
tahun Mangkunegoro di Solo.
“Itu yang saya petik. Berdasarkan itu, saya muncul dengan tari Golek Lambangsari,” katanya.
Menurut Didik, tari Golek Lambangsari menunjukkan adanya penari
“cross gender” (identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang
konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan, red.) di dalam
istana.
“Setelah saya selesai menari, kemudian saya munculkan Pendopo Sipanji
Banyumas. Lalu saya petik tembang Centhini karena dalam Centhini buku
kelima, ada tembang yang menceritakan bahwa Si Bolang itu menari
ronggeng jadi perempuan. Petikannya dari itu, maka saya masukkan Lengger
Banyumas,” katanya.
Saat memberikan presentasi di Amerika tentang Lengger “Lanang” yang
merupakan “cross gender” di masyarakat dan memunculkan Lengger Dariah,
dia mengaku berjanji untuk membuat dokumentasi tentang Lengger Dariah.
“Saya janji, pokoknya sepulangnya dari Amerika, saya mau membuat
dokumentasi dengan Lengger Dariah. Secara kebetulan saya diundang untuk
tampil di sini (Padepokan Payung Agung), sehingga saya sekalian buat
dokumentasi Lengger Dariah, dan Mbah Dariah pun saya ajak ke sini,”
katanya.
Dariah Mengabdikan Hidupnya Untuk Tari Lengger Banyumasan (photo : detik.com)
Disinggung mengenai perasaannya ketika berkolaborasi dengan Dariah,
dia mengaku langsung merasa cocok meskipun baru pertama kali bertemu dan
menari bersama.
“Saya melihat, Mbah Dariah ini sosok yang luar biasa. Saya melihat
seniman-seniman yang dulu karena proses berkeseniannya beda dengan
seniman yang sekarang, saya melihat pasti `low profile` dan kehidupan
mereka bersahaja,” katanya.
Bahkan, kata dia, sosok Dariah memiliki energi yang luar biasa dan terlihat saat menari.
“Meskipun saya banyak gerak dan `guyon` (bercanda, red.), saya
mengamati bagaimana gerak beliau. Begitu dengar gamelan, beliau langsung
`ngegol-ngegol` (menari, red.),” katanya.
Sementara dalam perbincangannya dengan Didik Nini Thowok, Dariah mengaku sempat memimpikan bertemu seniman “cross gender” ini.
“Saya pernah memimpikan, kapan bisa bertemu kamu,” katanya.
Saat ditemui wartawan di rumahnya beberapa waktu lalu, Dariah yang
memiliki nama asli Sadam mengaku, kecintaannya terhadap lengger berawal
saat rumahnya kedatangan seorang pengembara bernama Kaki Danabau dan
mengatakan kepada kakeknya yang bernama Wiryareja bahwa cucunya (Sadam)
dirasuki “indhang” atau roh lengger dan bakal menjadi penari lengger
yang terkenal.
Oleh karena itu, Sadam merasa terpanggil untuk menjadi seorang penari
lengger sehingga dia pamit untuk mengembara dengan bekal seadanya. Sadam kecil ini akhirnya sampai di perkuburan tua di Desa Gandatapa,
Kecamatan Sumbang, Banyumas. Dia pun segera bertapa di tempat yang
dikenal dengan sebutan makam Panembahan Ronggeng. Setelah sekian lama bertapa, Sadam kembali ke desanya dan sebelumnya
sempat membelanjakan seluruh uangnya untuk membeli konde, kemben,
selendang, dan kain. Sadam yang telah berusia 16 tahun itu akhirnya memantapkan diri
sebagai seorang penari lengger dan namanya diganti menjadi Dariah.
Meskipun tidak ada yang mengajarinya, tari Lengger yang dimainkan
Dariah sangat luwes dan kecantikan wajahnya menjadikan dia semakin
terkenal.
Sumber suarakita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar